Menyembelih “Kebinatangan” Manusia
Hari ini, 27 November 2009, umat Islam di Indonesia merayakan Hari Raya Idul Adha 1430 H. Setelah Shalat Id, dilanjutkan dengan proses penyembelihan hewan qurban. Setelah kita mengetahui tips memilih dan cara menyembelih hewan qurban, ada baiknya kita merenungkan sejenak arti dan makna qurban. Sekedar refleksi singkat, berikut ini opini Saya tentang Arti dan Makna Qurban –dengan menyembelih binatang hewan qurban– sebagai ihtiar untuk menyembelih dan membunuh perilaku kebinatangan manusia [maaf, jangan tertipu dengan judul posting ini].
Kisah simbolis Nabi Ibrahim AS menyembelih puteranya Nabi Ismail AS merupakan negasi kemanusiaan yang paling hakiki. Negasi kemanusiaan yang saya maksudkan adalah ketidakmungkinan dalam nalar apapun manusia untuk menyembelih sesama manusia atas alasan apapun. Sifat simbolis dari kisah ini menemukan makna hakikinya sebagai totalitas ketakwaan dan kepasrahan total Ibrahim AS kepada Allah SWT (sehingga ihlas “mengorbankan” Ismail AS, puteranya). Bahwa Allah SWT kemudian, dengan Kuasa-Nya, serta merta dan segera “mengganti” Ismail AS dengan Seekor Domba, melengkapi kisah yang menjadi awal pengambilan istinbat hukum disyariatkannya Ibadah Qurban dengan menyembelih hewan Qurban seperti Sapi dan Kambing dan atau Unta
Hewan Qurban seperti Kambing dan Sapi atau Unta (seperti dikisahkan dalam Al Quran} adalah representasi makhluk Allah SWT yang memiliki kedekatan ciri khas sedekat-dekatnya dengan kita semua, makhluk manusia, dalam sifat dan perilaku dasar seperti makan, minum, tidur, memiliki hawa nafsu, “bekerja” dan mengembangkan keturunan beranakpinak. Kedekatan maknawi semacam ini bisa menjadi pembeda yang sangat jelas antara manusia dan hewan atau binatang.
Namun, kedekatan maknawi tersebut juga bisa menghadirkan parameter-parameter kesamaan yang jelas pula antara manusia dan binatang. Bahwa adagium manusia adalah binatang yang berakal merupakan parameter yang kepadanya persamaan dan perbedaan itu menjadi melekat kuat pada diri manusia. Ada saat manusia itu seperti binatang. Sama persis dengan binatang. Bahkan lebih hina dari binatang. Ayat Al Qur’an berikut ini sangat jelas dalam menggambarkannya:
“Dan demi, sungguh Kami telah ciptakan untuk Jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka gunakan untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempinyai telinga (tetapi) tidak mereka mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf, 179)
Hati, Mata dan Telinga orang-orang yang memilih kesesatan dipersmakan dengan binatang karena binatang tidak dapat menganalogikan apa yang ia dengar dan lihat dengan sesuatu yang lain. Binatang memang tidak memiliki akal seperti manusia. Bahkan manusia yang tidak menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah, lebih buruk, sebab binatang dengan instinknya akan selalu mencari kebaikan dan menghindari bahaya, sementara manusia durhaka justeru menolak kebaikan dan kebenaran dan mengarah pada bahaya yang tiada taranya.
Setelah kematiannya, manusia mengalami kekal di api neraka. Berbeda dengan binatang yang mati dan punah dengan sendirinya. Di sisi lain, binatang tidak dianugerahi potensi sebanyak potensi yang dipunyai manusia, sehingga binatang tidak wajar dikecam bila tidak mencapai apa yang tidak dapat dicapai manusia. Sebaliknya, manusia pantas dikecam apa bila sama dengan binatang dan dikecam lebih banyak lagi jika ia lebih buruk daripada binatang, karena potensi manusia sebenarnya dapat mengantarkannya meraih ketinggian jauh melebihi binatang [lihat Tafsir Al Misbah, karya M. Quraish Shihab, halaman 313-314].
Praktik Qurban dengan menyembelih hewan qurban mengisyaratkan secara simbolis agar kita mampu meminimalisir sifat-sifat dan perilaku hewani pada diri kita. Pada saat yang sama, ia merefleksikan tingkat ketakwaan si pemberi qurban. Harusnya demikian adanya. Qurban yang dilakukan setiap tahun oleh seorang muslim tetapi tidak memberikan efek meningkatnya ketakwaan patut dipertanyakan tentunya. Ini juga merupakan kekeliruan dalam memahami qurban hanya sebatas menyembelih dan mendistribusikan daging mentah.
“Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu…… (Qs. Al-Hajj: 37). Jadi kata kunci dalam Ibadah Qurban adalah takwa dan meningkatnya ketakwaan seseorang. Sementara menyembelih hewan dan dan mendistribusikan daging hewan qurban merupakan simbol yang bisa bernilai ibadah sosial (sedekah) yang tak tergantikan dengan uang.
Demikian opini singkat artikel enyambut Idul Adha. Mari melalui momentum Idul Adha ini, kita berihtiar untuk “menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri kita untuk meningkatkan ketakwaan kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar